Sang pencipta langit dan bumi bernama Allah
Ketika Anda menyebut nama Allah, kemanakah pikiran Anda menuju?
Nama adalah sebuah simbol dari pemiliknya. Ketika kita menyebut kata “SBY” maka pikiran kita langsung mengarah kepada sosok gagah berwibawa, yang jika berbicara tutur katanya tertata dengan baik, yang menjadi Presiden RI. Ketika kita menyebut kata “ibu”, maka pikiran kita langsung mengarah kepada wanita yang melahirkan kita, melindungi dan menyayangi kita.
Wanita yang mengurus dan mendidik kita ketika kita masih kecil. Tetapi ketika menyebutan Allah, kita menjadi bingung dalam membayangkan “sosok” Tuhan.
Ketika kita menyebut nama Allah, tidak perlu kita membayangkan sosok Allah, karena kita tidak akan mampu melakukannya. Allah tidak serupa dengan apapun juga, maka apapun yang kita bayangkan mengenai wujud Allah pasti salah. Cukup sadari saja, bahwa yang kita panggil atau sebut nama-Nya itu adalah nama Dzat pencipta langit dan bumi. Dialah Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang memberi kita hidup lalu memberi kita rejeki sepanjang hidup
kita. Tuhan yang sangat berkuasa, bahkan setelah kita mati sekalipun. Dialah yang menetapkan siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang dikirim ke neraka.
Saya ingin memberikan gambaran yang lebih jelas untuk memperbandingkan siapa Allah dan siapa kita ini agar kesadaran kita menjadi lebih terbuka.
Andaikan bumi ini sebesar buah jeruk, maka manusia tak lebih besar dari debu-debu halus atau sel kulit. Kita naikkan skala perbandingannya. Jika matahari sebesar jeruk, maka bumi
kira-kira hanya sebesar butiran nasi. Manusia, mungkin tak lebih besar dari molekul yang membentuk kulit jeruk. Kita naikkan lagi skala perbandingannya. Jika galaksi Bima Sakti memiliki diameter sebesar jeruk, maka matahari hanyalah sebesar debu. Bumi mungkin
sebesar sel-sel kulit jeruk. Manusia hanyalah seperti elektron-elektron. Kita naikkan lagi skala perbandingannya lebih jauh lagi. Jika alam semesta ini yang kita kenal sekarang ini sebesar ruang keluarga Anda, maka galaksi hanya sebesar debu atau pasir. Matahari hanyalah seperti bakteri atau virus yang berterbangan di udara. Bumi mungkin hanyalah sebesar atom oksigen.
Manusia? Masihkah manusia bisa disebut sebagai ada? Kita tidak ada apa-apanya di alam semesta ini, sementara Allah Sang Pencipta lebih besar dari alam semesta itu sendiri.
Sekarang setelah kita sadar kekeliruan kita dalam berdzikir dan setelah sadar seberapa besarnya diri kita dan betapa besarnya Allah, marilah kita ulangi lagi apa yang telah kita lakukan di latihan sebelumnya sebagaimana di bawah ini.
Latihan 2
Duduklah seperti duduk diantara dua sujud (duduk i’tiraj).
Kendorkan badan lalu tundukkanlah hati Anda serendah-rendahnya.
Lalu amati nafas kita. Amati saja tidak perlu diatur.
Amati bahwa nafas kita bergerak sendiri tanpa kita perintah.
Mereka bergerak karena digerakkan Dzat yang memberi kita hidup.
Sadari, bahwa yang akan kita sebut nama Nya adalah nama Dzat yang memberi kita hidup.
Nama Dzat yang menciptakan langit dan bumi.
Nama Dzat Yang Maha Besar, Dzat Yang Maha Agung
Sekarang panggilah nama Dzat yang Maha Besar tanpa menghitung-hitung jumlahnya.
Panggilah dengan rendah hati dan suara lembut:
Allah…
(diam dan rasakan bagaimana Allah merespon panggilan Anda)
Allah…
(diam dan amati apa yang Anda rasakan)
Allah … Allah … Allah …
(panggilan nama Nya secara pelahan-lahan sampai Anda merasa cukup)
Silahkan dimulai.
S T O P
Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan
Duduklah seperti duduk diantara dua sujud (duduk i’tiraj).
Kendorkan badan lalu tundukkanlah hati Anda serendah-rendahnya.
Lalu amati nafas kita. Amati saja tidak perlu diatur.
Amati bahwa nafas kita bergerak sendiri tanpa kita perintah.
Mereka bergerak karena digerakkan Dzat yang memberi kita hidup.
Sadari, bahwa yang akan kita sebut nama Nya adalah nama Dzat yang memberi kita hidup.
Nama Dzat yang menciptakan langit dan bumi.
Nama Dzat Yang Maha Besar, Dzat Yang Maha Agung
Sekarang panggilah nama Dzat yang Maha Besar tanpa menghitung-hitung jumlahnya.
Panggilah dengan rendah hati dan suara lembut:
Allah…
(diam dan rasakan bagaimana Allah merespon panggilan Anda)
Allah…
(diam dan amati apa yang Anda rasakan)
Allah … Allah … Allah …
(panggilan nama Nya secara pelahan-lahan sampai Anda merasa cukup)
Silahkan dimulai.
S T O P
Jangan melanjutkan membaca sebelum melakukan
latihan di atas.
Sekarang apa yang Anda rasakan?
Mudah-mudahan Anda merasakan getaran atau "sesuatu" di dalam dada sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah. Mudah-mudahan Anda tidak termasuk sebagaimana orang yang disebutkan dalam surat Al Hujuraat [49] : 14 dibawah ini.
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Bagi yang bisa merasakan perbedaannya, mari kita evaluasi kenapa bisa terjadi perbedaan antara Latihan 1 dengan Latihan 2?
Pada Latihan 2 kita melakukannya dengan penuh kesadaran. Kita sadar, siapa yang namanya kita sebut. Karena kita sadar, kita jadi mengerti bagaimana kita harus bersikap dan mengamati apa yang sedang terjadi terhadap apa yang kita lakukan. Kesadaran seperti itu biasa disebut sebagai NIAT.
Niat menurut syara' adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan niat ada sepanjang perbuatan tersebut dilakukan. Niat dalam shalat bukan sekedar mengucapkan "ushalii". Bahkan mengucapkan "ushalii" bukan merupakan bagian dari shalat. Shalat menurut definisi syar'i adalah ibadah yang terdiri dari rangkaian bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam5. Sementara itu, mengucapkan "ushalii" terletak sebelum takbir, artinya diluar kegiatan
shalat. “Ushalii” hanya sekedar bacaan yang membantu mengingatkan kita agar kita melakukan shalat dengan penuh niat, dalam arti sungguh-sungguh menghadapkan diri ke Allah sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
Niat dalam shalat harus ada sepanjang shalat tersebut dilakukan, sejak takbir sampai dengan salam. Jadi takbirlah dengan niat, bacalah Al Fatihah dengan niat, rukuk-lah dengan niat, dan seterusnya sampai dengan salam. Artinya ketika takbir kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang mengagungkan kebesaran Allah. Ketika membaca Al Fatihah, kita sadar, bahwa ketika itu kita sedang memulai berkomunikasi dengan Allah. Ketika kita rukuk, kita sadar, bahwa ketika itu
kita sedang menundukkan diri di hadapan Allah SWT. Demikian seterusnya kita selalu melakukan gerakan dan bacaan shalat dengan penuh kesadaran hingga kita mengucapkan salam untuk menebarkan keselamatan ke sekeliling kita.
Disalin dari : Mardibros (www.shalatcenter.com)
0 komentar:
Posting Komentar