Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Setiap anak lahir dengan dorongan berbuat baik. Ia mencintai kebaikan dan secara naluriah ingin menjaga diri dari keburukan. Tetapi saat lahir, mereka belum bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Orangtualah yang keliru memberi tepuk tangan pada keburukannya, sementara saat berbuat baik terkadang mengabaikannya.
Hanya gara-gara berbuat pada adiknya di waktu yang tidak tepat, mata kita melotot dan tangan kita segera memberi pesan pada lengannya dengan cubitan yang membuatnya meringis kesakitan. Padahal yang seharusnya kita lakukan adalah memuji itikadnya dan meluruskan tindakannya.
Bukankah niat yang baik sudah dihitung sebagai kebaikan? Sementara niat yang buruk tidak dinilai sampai benar-benar dilakukan.“Setiap anak terlahir jenius, tetapi kita memupuskan kejeniusan mereka dalam enam bulan pertama, begitu Buckminster Fuller pernah berkata sebagaimana dikutip Dryden & Vos dalam buku yang bertajuk Learning Revolution. Kejeniusan mereka menguap begitu saja seperti embun pagi diterpa sinar matahari karena perlakuan yang salah dari kita. Bukan karena telah habisnya masa bagi kecemerlangan mereka.
Setiap bayi lahir dalam keadaan antusias dan optimis. Tidak ada bayi yang termenung sedih setelah gagal merangkak. Menangis itu biasa, sebagai reaksi dari badan yang sakit atau perut yang lapar, sementara mengomunikasikan dalam bahasa wicara belum mampu. Tetapi setelah tangis reda, antusiasme itu bangkit lagi. Menyala-nyala dalam diri mereka. Optimis mereka tumbuh. Tidak sibuk dengan keadaannya sekarang. Apalagi dengan masa lalu. Tetapi mereka sibuk dengan usaha.
Sayangnya, harta sangat berharga bernama antusiasme dan optimisme ini kita matikan dalam dua tahun pertama usia mereka. Kenapa? Saya tidak terlalu pandai untuk menjawab. Dua hal berikut ini sebenarnya lebih tepat untuk menggambarkan keadaan diri saya daripada menunjukkan penyebab utama kesalahan kita mendidik anak. Pertama, kurangnya ilmu. Meski sadar bahwa al-'ilmu qabla al-'amal (ilmu itu mendahului amal), kita rupanya mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja. Kedua, masa'il qalbiyah (urusan hati) kita yang tak terurus. Kita lapar ruhani di saat harus mengenyangkan ruhani anak kita. Padahal laparnya ruhani jauh lebih besar bahayanya dibanding laparnya badan.
Saya teringat kata-kata Ustadz 'Abdullah Sa'id (Allahu yarham). “Ruhani yang sedang lapar,” kata almarhum, “mempunyai perbedaan yang sangat mencolok bila dibandingkan dengan jasmani yang lapar. Kalau jasmani yang lapar, tidak terlayani tuntutannya yang menyebabkan lapar dan haus, paling tinggi akan berakibat pada jasmani yang loyo, lemah dan lama kelamaan jasmani ini tidak akan berfungsi apa-apa. Mata tidak bisa memandang, telinga tidak bisa mendengar, dan barang yang ringan pun tidak bisa diangkat. Ujung dari semua itu adalah kematian, dan berakhirlah derita jasmani yang tidak mendapatkan kebutuhan makanan dan minum. Hanya itu saja!
Lain halnya kalau ruhani ini tidak terpenuhi kebutuhan makannya dan tidak terlayani kebutuhan minumnya, sehingga ia lapar dan haus,” kata Ustadz 'Abdullah Sa'id lebih lanjut, “Dia tidak menjadi loyo. Dia bukannya tidak berfungsi dan tidak berperan sebagaimana nasib sang jasmani. Tetapi ia justru bertingkah, sama sekali tidak menguntungkan dirinya.
Pelajaran apa yang kita petik?
Kita perlu berpikir tentang bagaimana menjalankan tugas keorangtuaan (parenting), yakni mengasuh, membesarkan dan mendidik mereka agar bukan saja tidak mematikan segala kebaikan mereka. Lebih itu dari itu, kita merangsang inisiatif-inisiatif mereka, mendorong semangat mereka, memberi penerimaan yang tulus dan memberi perhatian yang sangat atas setiap kebaikan yang mereka lakukan. Kita perlu mengembangkan inisiatif positif dan melakukan pendekatan yang positif. Itulah sebabnya saya menyebutnya positive parenting. Kalau pun ada istilah serupa yang ternyata sedang berkembang, saya tidak berani serta merta mengatakan kedua istilah tersebut sama maknanya.
Secara sederhana, positive parenting meliputi beberapa bagian.
Pertama, konsep dasar yang melandasi.
Kedua, sikap dasar yang perlu kita miliki dalam menerapkan positive parenting (mendidik anak secara positif).
Ketiga, prinsip-prinsip penting menjadi orangtua yang positif.
Dan yang keempat, strategi mengasuh anak secara positif agar membangkitkan potensi-potensi positif mereka; kecerdasan intelektual mereka, emosi mereka dan juga dorongan moralistik-idealistik mereka yang bersumber pada bercahayanya kekuatan ruhiyah mereka.
'Alaa kulli hal, di atas berbagai prinsip yang perlu kita ketahui, kunci utamanya terletak pada komunikasi. Perilaku yang keliru bisa kita luruskan dengan komunikasi positif.
0 komentar:
Posting Komentar