Menghadapi Perang Global

Oleh : Toto Tasmara

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung." (al-Anfal:45).
Persatuan Umat (Ittihadul-Ummah)
Entah, bahasa apa yang dapat membekas di hati kita agar memahami makna dan pentingya persatuan umat (ittihadul-ummah). Kepedihan sejarah yang mendera umat Islam selama ini dikarenakan hilangnya harga diri (muru'ah) terhadap persatuan. Dan kalau ada, keinginan tersebut seringkali hanyalah sekedar pemanis pidato dan retorika. Nurani terasa bergetar setiap mendengarkan gelora para mubaligh cerdik yang "menggelitik" agar kita mau melepaskan segala kebanggaan terhadap suatu golongan ('ashabiyah) dan menggantinya dengan "jubah" jamaah: satu komando (imamah), satu jamaah, satu harakah. Sesekali iman terasa segar karena mendengarkan firman Allah:

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapat siksa yang berat." (Ali Imran: 105)



Akan tetapi, alangkah sedihnya nasib persatuan umat. Alangkah berdukanya pelita persaudaraan. Seruan dan untaian ayat tersebut bagai­kan angin lalu. Sesaat angin berhembus penuh harapan, lalu diam. Mereka pun kembali asyik dengan dirinya sendiri, golongan, dan mazhab­nya masing-masing. Seakan-akan, mata hati dan pendengarannya telah buta dan tuli untuk melihat dan mendengarkan jeritan umat yang tercabik oleh angkara zionis Yahudi dan kaum kafir yang "melahap" hampir seluruh pori-pori tubuh umat yang mengaku beragama Islam. Lantas, bahasa seperti apakah yang paling memukau dan menggerakkan jiwa untuk membuat kita mengerti. Padahal, betapa di luar tempat ibadah masih terlalu banyak persoalan umat. Betapa di lapangan kehidupan nyata, jiwa umat tercabik dan terkoyak serta kehilangan arah dan panduan. Bagaikan tidak mengenal kata "kapok", para pemimpin umat tidak pernah ingin "meleburkan" dirinya dalam satu barisan dan bangunan yang kokoh, yaitu jamaah.

Kalau saja kita mau merenung dengan hati seorang yang tulus dan ikhlas secara mendalam. Apalah artinya partai, golongan, dan organisasi, kalau semua itu hanya dijadikan sekadar alat dan bukanlah tujuan. Kalau saja kita memang bergemuruh ingin menjayakan Islam dan umatnya, lantas beban apakah yang paling berat untuk melepaskan atribut, ketua, pemimpin, atau apa pun jabatan organisasi demi persatuan umat. Kiranya, kita masih membutuhkan lebih banyak negarawan yang berpihak kepada umat keseluruhan dan tidak cukup sekadar menapakkan wajah politisi yang hanya mempunyai ambisi memenangkan partai atau golongannya.

Sindiran Rasulullah SAW yang mengatakan umat Islam yang banyak tetapi bagaikan buih yang tidak lagi menggugah jiwa. Kebanggaan ke­lompok dan sikap egois telah membuat kita terpecah bagaikan makanan yang terhidang nikmat untuk diperebutkan orang-orang lapar. Memang kelihatannya kita sama-sama bekerja, padahal tidak pernah mau bekerja sama. Kalau ada, itu pun hanya sekadar simbol. Tidak pernah sampai pada tujuannya yang paling substansial. Umat merintih pedih karena kita tidak lagi mempunyai khilafah. Wajah umat mengharu-biru karena tidak ada lagi arah dan tempat mengadu. Ketika sepatu laars tentara zionis menapakkan kakinya di hamparan kehidupan, mengepulkan asap, dan debu-debu kemenangan, juga merampas dan memburu diri kita yang terpenjara dalam "strategi 9F":
Finance/fund-Food-Film-Fashion-Fun-Fiction-Faith-Friction-Fitnah.

Kita semua bagaikan terkena hipnotis, tidak berdaya, bahkan tanpa perasaan berdosa sedikit pun, berpura pura menyambutnya dengan penuh antusias. Dari hari ke hari, perangkap itu semakin mengikat, membelenggu cara berpikir, bahkan cara berbudaya yang menyebabkan kita lupa dengan firman Nya:"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembali­kan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman." (Ali Imran: 100)

Peringatan Allah tidak lagi menggetarkan nurani kita, tidak juga jiwa para pemimpin umat yang seharusnya dengan gigih tidak mengenal lelah memperjuangkan cita-cita luhur memenuhi seruan Ilahi yang dengan sangat jelas menyerukan kepada terwujudnya persatuan umat (ittihadul ummah).

Rasulullah SAW bersabda, "Aku wasiatkan kepada kalian (agar mengikuti) para sahabat kepada generasi berikutnya, kemudian kepada generasi berikutnya. Kalian harus berjamaah. Waspadalah terhadap perpecahan, karena sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian. Dia akan lebih jauh dari dua orang. Barangsiapa menginginkan bau wangi surga maka hendaklah tetap teguh dengan jamaah." (HR at-Tirmidzi).

Dalam hal ini, jelaslah bahwa wasiat Rasulullah saw telah diabaikan dan diganti oleh sebagian umat dengan mengangkat benderanya masing masing dengan penuh kebanggaan. Sungguh mustahil apabila ada anggota partai atau golongan yang tidak mempunyai kebanggaan ter­hadap partai atau golongannya. Sebab apabila tidak, berarti mereka termasuk seorang anggota yang tidak memiliki loyalitas, menurut rekan-rekan separtai atau segolongannya walaupun sering kita mendengar berbagai alasan rasional dari para anggotanya, bahwa partai dan golongan hanyalah sekadar alat dan siasat. Untuk itu, ada baiknya sesekali kita merenungkan ayat dan hadits tentang jamaah dan persatuan umat Setelah melakukan perenungan tersebut, kini saatnya untuk melihat dengan mata hati kita yang paling tajam. Tangkaplah deru perjuangan dengan akal kita yang paling cemerlang; tidakkah pada hakikatnya kita telah terperangkap dalam jebakan zionis Yahudi yang berseru lantang:

"Lumpuhkan umat Islam, penjarakan mereka dengan kebanggaan partai dan kelompoknya masing masing, karena hanya dengan cara itu kita (para pengikut kaum zionis) mampu menguasai mereka."

Padahal, kalau saja bisikan nurani didengar dengan jujur, pahamlah kita bahwa salah satu yang termasuk golongan musyrik itu, antara lain adalah mereka yang bangga dan fanatik dengan partai atau golongannya. Hal itu sebagaimana firman-Nya:".. janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan; tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (ar-Rum: 31-32).

"Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-­masing).'' (al-Mu'minun: 53).

Ayat tersebut seakan-akan mempertegas dan sekaligus menjadi garis pemisah (furqan) antara masyarakat muslim dan musyrikin. Sebuah batas kesadaran yang hanya dapat dipahami melalui perenungan serta kerendahan hati yang penuh rasa takut. Tentu saja, segudang argumentasi dapat disusun dengan rapi dan jenius untuk menyatakan bahwa perbedaan tersebut tidaklah menunjukkan perpecahan. Jelaslah bahwa dalih tersebut benar-benar hanya siasat dan bukan tujuan, me­lainkan alat. Untuk kesekian kalinya kita harus pahami bahwa apa pun bentuk siasat, takkik, metode, atau wasilah akhirnya berpulang kepada hati nurani kita masing-masing. Benarkah demikian? Benarkah ketika kita berargumentasi bahwa partai dan golongan itu hanya sekadar siasat dan tidak dipengaruhi unsur hawa nafsu fanatisme golongan atau 'ashabiyah?
Bagaimana mungkin kekuatan yang besar itu tidak berdaya berhadapan dengan musuh-musuh yang dengan sangat jelas ingin meng­hancurkan eksistensi sistem Islam. Bukankah Umar bin Khaththab r.a. telah mengatakan kalimat "bersayap" tentang persyaratan tegaknya Islam melalui: imamah, jama'ah, tha'ah, bai'at, sudah sangat jelas diuraikan. Setiap gerakan kehidupan tidak dapat terlepas dari sistem jamaah. Hidup dan berpartai sekalipun seharusnya bertumpu pada sistem jamaah (al hayatu wal-hizb huwal jama'ah). Tanpa berjamaah niscaya kita akan teperosok dalam sikap egois, individualistis, dan mengulangi pahitnya sejarah kekalahan Islam yang terusir dari Andalusia. Tragedi sejarah tanah Karbala yang memilukan, kecemerlangan Cordova dan Universitas Castilia di Andalusia telah sirna.

Tatanan khilafah telah runtuh dan diubah dengan sistem dinasti atau sistem yang sungguh jauh dari Al-Qur'an, walaupun lambat, tetapi pasti. Seluruh sistem yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul dapat menyebabkan hilangnya jamaah. Seharusnya, para mubalig dan para pemimpin Islam tidak mengenal henti untuk memperkokoh barisan dan mempersatukan hati (ta'liful-quluub) untuk menuju satu sistem yang utuh, total, dan mencakup segala segi yang holistis (bersifat keseluruhan, ed.) agar terhindar dan tidak terkontaminasi oleh gaya pemikiran kaum kafir yang bersifat hedonistik, individualistis, dan sekuler. Nilai-nilai agama mereka buang di kotak sampah. Jiwa amarah membungkus para abdi nafsu dengan penuh ambisius, seraya mencatut nama rakyat. Mereka pun menohok harga diri orang beragama. Moral, etika, dan sopan santun hanya sebuah kata yang semakin samar-samar, apalagi cinta dan akhlak karimah.
Prinsip jamaah yang berdiri di atas tiang saling memahami (tafahum), saling bertanggung jawab (takaful), saling menolong serta saling membela (ta'awun), dan adil berkesimbangan (tawazun), kini hanya tinggal kenangan. Puing-puing yang sulit untuk dikumpulkan kembali, karena jiwa telah dinista oleh gaya berfikir yang jauh dari prinsip Islami. Padahal, dengan sangat jelas dan tandas, Allah telah menyerukan mereka dengan firman-Nya:"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (al-­Baqarah: 208).
Totalitas gerakan tersebut tidak lain dalam satu ritme organisasi yang berada dalam sistem jamaah. Inilah kunci kemenangan umat Islam. Tidak pernah ada satu aksioma yang bisa memenangkan perjuangan umat Islam kecuali dalam sebuah tatanan jamaah.

Lantas iman yang seperti apa lagi yang akan menafikan seruan Allah dengan firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan­-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (ash-Shaff: 4).
Bagaimana mungkin bangunan menjadi kuat apabila tumpukan batanya berserakan? Bagaimana mungkin pula memenangkan peperangan apabila seluruh kekuatan tidak disatu-padukan dalam satu langkah, satu komando menuju kemenangan. Ayat tersebut merupakan aksioma Ilahiyah yang tidak bisa digugat.

Selama umat Islam terkotak-kotak dan terpelanting dalam kolam-­kolam yang kecil, maka ia tidak akan diperhitungkan, bahkan tidak akan dilihat dengan sebelah mata oleh musuh-musuhnya. Bagaikan buih. Keberadaan dan ketiadaannya sama saja. Batu bata betapapun mahal kualitasnya, tetaplah hanya sebuah batu bata. Akan tetapi, apabila mereka ditumpuk dan dikelola di bawah tangan seorang yang piawai, maka jadilah dinding bangunan yang kokoh.
Mungkin, inilah keprihatinan yang teramat mendalam dari ucapan terakhir Rasulullah saw menjelang wafatnya beliau, "Umatku, umatku, umatku.". Adakah beliau gundah melihat umatnya kelak yang terpecah-­pecah? Adakah beliau berwasiat kepada kita semua agar mewujudkan cita-citanya untuk menjadi umat yang berjamaah? Kalau saja dugaan kita benar, betapa beliau merintihkan harapannya kepada kita. Dengan kata lain, apabila kita tetap tidak peduli dengan seruan persatuan umat, masih pantaskah kita berdiri dan mengaku pengikutnya? Sedangkan wasiat beliau agar tidak berkelompok (berfirqah), namun tidak sedikit pun yang mau memperjuangkannya? .

Maka tidak ada kata yang paling mendesak untuk dilaksanakan, kecuali persatuan umat (ittihadul-ummah). Kalau saja dimungkinkan, seharus­nya ada semacam reformasi pemikiran untuk menjadikan persatuan umat bagian dari rukun perjuangan umat Islam. Kalau saja diupayakan dengan penuh kesungguhan, kiranya persatuan umat dapat menjadi "pelajaran wajib", khususnya bagi putra-putri kita yang memasuki bangku sekolah. Sayang, seruan ini hanya dianggap sebagai angin lalu. Persyaratan utama yang menyebabkan tidak datangnya pertolongan Allah, karena kita menganggap persatuan umat atau berjamaah hanya sebagai retorika belaka. Padahal, seruan ini bersumber pula dari wasiat suci baginda Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda:
"Umat Muhammad saw akan berada dalam kesesatan (selama tidak berjamaah), karena tangan Allah bersama jamaah. Barangsiapa menyempal maka dia menyempal ke neraka." (HR at-Tirmidzi).

Oleh karena pentingnya hakikat berjamaah maka Rasulullah saw kembali menyerukan kita sebagaimana sabdanya, "Barangsiapa memisahkan diri dari jamaah, sejengkal kemudian dia mati maka matinya adalah mati jahiliah." (Muttafaq'alaih dari Ibnu Abbas).
Tidakkah kita merasa takut kepada Allah apabila seruan Rasulullah saw serta ayat-ayat muhkamat Nya --ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya-- kita abaikan? Ataukah jiwa kita telah dicuci oleh kenikmatan dunia, harta; dan ambisi kekuasaan, sehingga dada kita kosong dari kesadaran (zikir) akan pentingnya partai Allah; yang berorientasikan pada satu pimpinan; satu gerakan satu kekuatan, Islam bersatu?

Air mata mengalir dari jiwa yang merintih karena diantara kita sudah kehilangan kesadaran perjuangan untuk meneruskan warisan suci ini.

Padahal Allah berfirman, "Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa meng­ingat Allah mereka itulah golongan setan. Ketahuilah bahwa se­sungguhnya golongan setan itu golongan yang merugi." (al-Mujadilah: 19).

Kita sangat mafhum bahwa ajaran setan dapat berwujud dalam bentuk apa pun juga. Dia menyelusup dalam otak manusia. Dari produksi hasil pemikiran yang telah diselusupi setan itu adalah penolakan ter­hadap gairah Islamiyah untuk mempersatukan umat: Dengan gaya retorika dan logika palsunya, mereka berdendang, "Ini semua siasat bung! Kami tidak berpecah, kami tetap bersumberkan Al-Qur'an dan hadits."

Alangkah naifnya cara berpikir seperti itu yang tercabut dari akarnya. Umat Islam bagaikan terlena dalam gemuruh ornamen dan hiasan duniawi yang "diimpor" dari pusat-pusat pergerakan zionis. Seperti ungkapan ini, "Siang hari kamu lupa bekerja dan lalai, wahai orang yang tertipu. Dan malam hari kamu lelap tertidur, sungguh celaka tidak terelakkan!"
Kalau saja umat Islam terjaga dari tidurnya niscaya mereka me­mahami makna akidah sebagai keberpihakan penuh (kaffah). Mulai dari niat, alat, dan siasat haruslah berpihak pada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:"Dan barangsiapa mengambil Allah; Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. " (al-Maa'idah: 56)

0 komentar: