Oleh : Mashadi
Udara panas menyengat. Angin gurun disertai badai samun. Terasa sangat mendera. Debu-debu berterbangan. Membuat dinding-dinding tembok menjadi kusam. Terkena debu. Jalan lengang di siang hari. Hanya satu dua orang yang pergi. Karena sangat perlu. Tak tahan menghadapi udara gurun yang panas. Menyengat. Kala itu, putra Khalifah al-Makmun, yang bernama Pangeran Ali sedang berada di tangsi militer.
Tiba-tiba seorang pelayan datang. “Tuanku Amirul Mukminin memanggil. Ia memanggil untuk jamuan makan, dan sekarang menunggu tuan”, ujar pelayan itu. Mendengar panggilan itu, Pangeran Ali, lalu berkata: “Sungguh. Cuaca sangat panas dan terasa gerah, membuat diriku malas keluar. Maka, kembalilah dan beritahukan kepada Amirul Mukminin, bahwa kamu mendapatkanku sedang tidur”, ucap Pangeran Ali. Tapi, pelayan itu kembali lagi, dan mengatakan : “Amirul Mukminin memerintahkan untuk membangunkan. Beliau sudah tidak sabar lagi walau sekejap saja”, tambah pelayan itu.
Mendengar perintah itu, Pangeran Ali segera bangun, dan menghadiri jamuan makan dengan perasaan tidak senang. Disaat itu, Amiru Mukminin duduk-duduk, sambil minum-minum bersama teman-temannya. Melihat suasana seperti itu, Pangeran Ali meninggalkan jamuan, tanpa minum sedikitpun.Ia kembali ke istananya, dan memerintahkan agar digelarnya permadani di balkonnya yang berada di pinggiran sungai Tigris, lalu disiram dengan es. Kemudian Pangeran Ali duduk diatas pembaringan beratap kain sambil memandang orang-orang, dan sungai yang terus mengalir.
Dari kejauhan Pangeran Ali melihat seorang kuli datang. Kuli itu menggunakan baju dari bulu putih yang sudah kumal. Ia membungkus kedua kakinya dengan kain perca untuk menahan sengatan panas yang membakar. Dilihatnya, kuli itu mengeluarkan bungkusan, yang berisi makanan, yang tidak seberapa, hanya sekedar menahan laparnya. Roti yang ditaburi garam, dan diberi sejenis bahan tumbuhan yang berbau harum. Lalu, dari kejauhan Pangeran Ali melihat kuli sedang makan makanannya yang ada. Dan, ketika usai makan, kuli membungkus kembli barang makanan yang ia bawa. Lalu, kuli menggelar kain, dan melaksanakan shalat Dhuhur.
Pangeran Ali berkata kepada pengawal yang berdiri didekatnya. “Bawalah dia kemari, dan perlakukanlah dengan lembut”, ucapnya. Pengawal itu berkata, ‘Bangun, dan ikut saya’, tegasnya kepada kuli. Tapi, kuli menolak, karena ia sudah merasa letih. “Carilah orang lain, badanku sudah sangat letih”, ujarnya. “Tempatnya dekat”, sahut pengawal. Tetapi, kuli tetap menolak, dan tidak mau ikut pengawal, yang ingin membawanya kepada Pangeran Ali. Dan, pengawal Pangeran Ali terus menekannya, dan akhirnya kuli itu ikut ke istana Pangeran Ali.
Ketika bertemu dua manusia yang berlainan status itu, tapi tak menghalangi keduanya menjadi dekat. Pangeran Ali, kemudian menggandeng tangan kuli itu, dan membawanya masuk ke dalam kamarnya, tanpa disertai orang lain. Lalu, Pangeran Ali bekata : “Lihat ini, kamu telah mengetahui keadaan, dan kedudukanku. Namun, apa artinya kerajaan ini dengan segala kenikmatan dunia itu bagiku. Maka, berdoalah kepada Allah Subhana wa Ta’ala agar aku bisa hidup bersahaja di dunia serta senang di akhirat”, pinta Pangeran Ali.
Kuli itupun berkata : “Wahai saudaraku tercinta, saya tidak punya kedudukan disisi Allah untuk bisa aku panjatkan doa, hanya saja sebahagian orang bijak berkata, ‘Barangsiapa takut terhadap sesuatu, maka ia akan bangun sepanjang malam. Karenanya, wajibkanlah terhadap dirimu setiap hari walaupun hanya sejenak untuk melakukan yang jelas bagi-Nya.Jika kamu mendahulukan yang demikian itu, maka dengan pertolongan Allah akan timbul suatu tekad yang kuat, dan akan selalu melakukannya. Kamu harus bertaqwa kepada Allah, mentaati dan menjauhi larangan-Nya”, ucap kuli itu.
Kemudia kuli itu mengangkat tangannya, dan sambil menengadahkan wajahnya, ‘Wahai Zat yang mengangkat langit dengan kekuatan-Nya, yang membentangkan bumi dengan kehendak-Nya, yang menciptakan makhluk dengan kemauan-Nya, yang bersemayam di Arsy dengan kekuasaan-Nya. Wahai raja di raja, yang Maha Perkasa, Tuhan bagi alam semesta, dan penguasa hari kiamat, aku memohon kepada-Mu dengan limpahan rahmat-Mu, kedermawanan-Mu dan kekuasaan-Mu,agar sudilah Engkau mengeluarkan rasa cinta duniawi dari hati hambamu, Abdullah Ali, berilah dia taufiq untuk dapat berbakti kepada-Mu dengan melakukan amal-amal yang Engkau tetapkan dapat memperoleh keridhaan-Mu, jauhkanlah dia dari maksiat-Mu, akhirilah kami dan dia dengan kerelaan-Mu, dan maaf-Mu, wahai Zat yang Maha Pengasih”, tambah kuli itu.
Mendengar untaian kata-kata doa kuli itu, Pangeran Ali berlinang air matanya, dan menangis sejadi-jadinya, lalu berkata kepada kuli itu. “Seandainya kamu menerima sesuatu pemberian dariku?”. Lalu, dijawab oleh kuli itu, ‘Saya tidak menginginkannya, yang saya inginkan hanyalah agar anda melapaskan saya’. Dan, kuli itu dibiarkan pergi, meninggalkan istana.
Kuli itu bekerja dari pagi hari usai shalat shubuh, hingga sore hari, menafkahi ibunya yang sudah lumpuh, dan selalu menyertainya, di waktu malam hari. Kuli senantiasa berpuasa, dan berbuka bersama ibunya, dipetanghari. Terkadang kuli itu menggendong ibunya, ketika ia ingin keluar melihat matahari.
Kuli itu hidup sangat bersahaja dipedalaman Iraq. Setiap hari berjalan kaki, mencari pekerjaan untuk menghidupi ibunya. Di malam hari ia tetap shalat malam, tanpa henti. "Apakah diwaktu malam kamu tidak istirahat?", tanya Pangeran Ali. "Bila saya biarkan diriku istirahat di waktu malam, maka ia akan meninggalkan aku di hari kiamat dalam keadaan miskin", ucap kuli itu.
Di suatu malam, Pangeran Ali membandingkan makanan yang dimakan kuli, yang hanya roti kering, yang ditaburi dengan garam serta bumbu wewangian, dan tulang-tulang yang dagingnya sedikit, dan sudah kering, itulah yang dimakan kuli itu. Sedangkan yang dimakan Amirul Mukminin, Al-Makmun, hidangan yang bermacam-macam, hidangan roti yang sangat putih, bersih dan halus, yang disaring kain, dan yang tersisa hanya tinggal sarinya. Dan, roti itu dibakar dan diasapi dengan kayu qomary, yang baunya sangat harum, disertai beraneka daging, yang sangat lezat, tak ada bandingannya.
Di kemudian hari, suatu pagi, Pangeran Ali pergi meninggalkan istana, naik perahu pergi ke Basrah, dan pengawalnya disuruh pulang. Sejak itu, Pangeran Ali hidup layaknya gelandangan. Ia mengenakan pakaian yang kasar guna menutupi kulitnya yang bersih, lalu membeli talam yang bentuknya seperti kuli itu, dan meletakkan diatas pundaknya. Dia bekerja sesuai dengan kemampuannya, dan membawa tulang belulang, yang dimakannya setiap hari, dan roti kering, yang sudah lama.
Pangeran Ali disiang hari ia berpuasa, sambil berpuasa, dan tidak pernah meninggalkan shalat saatnya tiba. Putra Khalifah al-Makmun, yang paling disayangi itu, hidup dan tidur dari masjid ke masjid, berjalan tanpa alas kaki, meskipun terik matahari, yang membakar, dan kakinya pecah-pecah. Hal ini berlangsung bertahun-tahun, sampai ia jatuh sakit. Disaat ia merasa ajalnya akan tiba, maka ia tinggal disebuah penginapan. Sebelum meninggal, ia memanggil pemilik penginapan itu.
‘Berikan cincin ini kepada gubernurmu, kalau ia sedang lewat’. Tak lama, Pangeran Ali meninggal, saat itulah gubernur Basrah lewat, dan diberikan cincin dari Pangeran Ali itu. Dan, Gubernur Basrah mengetahui bahwa cincin itu, milik Pangeran Ali.
Disertai iringan para pengawal, jasad Pangeran Ali dibawa ke Istana, kemudian dimandikan, serta dikafankan kembali. Ketika dimakamkan Khalifah al-Makmun, berkata dengan lirih : “Wahai anakku, semoga Allah mengasihimu dan mengabulkan harapan dan cita-citamu. Sesungguhnya aku sangat berharap, semoga Allah memberikan kebahagiaan kepadamu”, ucap Khalifah al-Makmun. Lalu, Khalifah al-Makmun memerintahkan menutup kuburnya dengan tanah.
Beberapa hari sesudah kematian putranya, Khalifah al-Makmun, membuka gulungan wasiat putranya Pangeran Ali, dan memanggil Muhammad bin Saad untuk membacakan surah al-Fajr, sedangkan Khalifah al-Makmun menangis sampai pada ayat : "Sesungguhnya Tuhan-mu benar-benar mengawasi", maka disuruhnya Saad berhenti.
Dengan peristiwa kematian putranya itu, Amirul Mukminin setiap mengingatnya pasti menangis, dia senantiasa gelisah, dan tidak tertarik lagi dengn kelezatan dan nafsu dunia. Para ulama fiqh bergantian datang ke majelisnya untuk memberikan fatwa sekaligusnya menasehatinya. Sampai al-Makmun meniggal.
Sebelum meninggal Khalifah al-Makmun bersedekah sebanyak seribu dirham, memerintahkan untuk melepas para narapidana, menulis surat kepada semua gubernur dan pejabatnya, agar berbuat adil kepada rakyat, dan menghentikan kezaliman. Wallahu ‘alam.
0 komentar:
Posting Komentar