Oleh : Toto Tasmara
Kalau saja saat ini, umat Islam mempunyai pemimpin sebenar-benarnya pemimpin, seperti Rasulullah saw, niscaya ekonomi menurut syariat Islam bisa dikomandokan agar seluruh umat Islam melaksanakannya. Dan niscaya umat Islam akan mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat dan sulit utuk ditembus oleh infiltrasi paham zionis, walau mereka bersekutu dengan kaum Dajal lainnya di muka bumi ini. Setiap pengusaha atau masyarakat mempunyai keterpanggilan untuk hanya menyimpan uang mereka di bank Islam. Melakukan sistern ekonomi dan perbankan dengan sistem yang ditetapkan secara halal menurut konvensi syariat. Tentunya, bank Islam tersebut akan mengalami likuiditas yang tinggi, dana tunai yang sehat, dan pada saatnya mampu mengalirkan kembali dana tabungan tersebut untuk membantu kaum muslimin. Jaringan dunia perbankan Islam akan menyebar ke semua pelosok dan memperkuat fondasi ekonomi umat.
Akan tetapi, jauh dari lubuk hati kita masing-masing, tentunya ada semacam pesimisme, selama umat Islam tidak berada dalam satu komando kepemimpnan umat yang berwibawa. Selama kepemimpinan dan jamaah belum dianggap sebagai persyaratan kehidupan umat Islam, maka imbauan apa pun akan tetap kalah bersaing dengan hingar bingarnya sistem zionis yang secara duniawi sangat memikat manusia. Pantaslah Rasulullah saw menjawab bahwa umat yang banyak, tetapi berkualitas buih. Kita telah kehilangan daya inovasi dan lebih senang menari dengan iringan musik kaum kafir yang tidak pernah mengenal lelah ingin mengadu domba sesama umat Islam.
Zakat, Infaq, dan Sedekah
Kalau saja umat Islam mempunyai "imam" yang mampu mengomandokan agar beberapa bagian dari penghasilan umat Islam dikeluarkan untuk dizakatkan, diinfakkan, dan disedekahkan kepada mereka yang memerlukannya (kaum dhuafa) niscaya tidak akan ada lagi proposal yang beredar atau surat-surat edaran yang meminta sumbangan, tidak akan ada lagi para saudara kita yang mengulur-ulurkan tangan diiringi loudspeaker di pinggir jalan untuk biaya pembangunan masjid baru. Karena pengelolaan dana dizakatkan, diinfakkan, dan disedekahkan umat dilakukan dengan profesional dengan satu imamah, tentunya.Pembangunan masjid dievaluasi oleh satu tim. Apakah diperlukan membangun masjid baru sedangkan di sebelahnya ada masjid yang sepi dari jamaah. Bagaimana rasio populasinya, dari manakah dananya, dan lainnya. Karena kita tidak mempunyai imamah maka umat Islam mencicit seperti anak ayam kehilangan induknya yang bergerak di lapangan terbuka tanpa perlindungan dari mata tajam elang rajawali yang siap menerkamnya. Bagaimana membuat satu fatwa atau gerakan dakwah agar dapat meramaikan masjid. Memakmurkannya dengan shalat berjamaah adalah sama besar pahalanya dengan membangun masjid. Apalah artinya masjid dibangun di setiap RT atau RW, tetapi sepi dari orang-orang yang meramaikannya dengan shalat fardu berjamaah.
Membelanjakan Uang
Kita tidak ingin berdebat soal khilafiah bahwa ibadah seseorang tidak akan diterima selama empat puluh hari apabila di dala perutnya ada makanan haram, tetapi kiranya harus direnungkan bagaimana dan kepada siapa kita harus membelanjakan uang ini.Dengan perekonomian global yang kita hadapi saat ini, berapa banyak perusahaan asing menanamkan modalnya di negara yang mayoritas penduduknya umat Islam. Mereka melakukan kerja sama (joint venture) dengan pembagian keuntungan yang lebih besar profitnya kepada para penanam modal dan pemilik royalti. Misalnya, sistem komposisi sahamnya adalah 80:20, di mana 80 persen untuk pemilik modal mayoritas dan pemilik royalti, dan 20 persennya untuk pemodal dalam negeri. Maka sudah dapat kita ketahui berapa milyar rupiah mengucur ke para pemodal asing tersebut, lalu dibawanya keuntungan tersebut ke negeri asalnya. Uang yang kita belanjakan ternyata membantu pengembangan usaha mereka, karena mayoritas keuntungannya dinikmati di negara asalnya yang notabene merupakan bagian dari jaringan zionis. Dan mereka tidak mendapatkan kewajiban berzakat, sehingga mustahil mereka menyisihkan keuntungan perusahaan dalam bentuk zakat.
Keberpihakan Kepada Islam
Bagaimana mungkin ajaran dan syiar Islam akan merebak dan menjadi kuat, sedangkan umat Islam sendiri tidak mempunyai keberpihakan terhadap ajaran Islam secara kaffah (keseluruhan).Untuk itu, harus ada semacam reformasi besar di kalangan para pemimpin Isram untuk melepaskan segala egonya dan membiarkan dirinya hanya dipandu oleh semangat Islam dalam sebuah gerak langkah yang indah, yaitu persatuan umat (ittihadul ummah).
Semua persoalan dan kehidupan umat dapat kita kembalikan kepada program (manhaj) yang sesuai dengan syariat-Nya, dikarenakan umat dapat dengan jelas dan mudah pula ke mana mereka harus "mengadukan" nasib dirinya. Peran lembaga-lembaga Islam yang ada saat ini seharusnya berada dalam satu payung para pemimpin ahli (ahlul hal walaqdi) yang berhimpun penuh integritas dan kredibilitas untuk menjadi pengawal umat.
Akan tetapi, rasa skeptis seakan menerpa diri kita. Mungkinkah kita mempunyai cukup keberanian untuk menyatakan diri berhimpun dalam satu "dewan imamah"? Duduk di dalam dewan tersebut para ulama, tokoh, dan cendekiawan yang 24 jam memikirkan nasib umat Islam?
Nurani berbisik dari lubuk hati, benarlah apa yang disabdakan Rasulullah saw. bahwa umat Islam yang banyak ini bagaikan semangkok makanan yang diperebutkan kaum Dajal yang kelaparan, karena umat dilanda penyakit wahan (terlalu cinta dengan dunia).
0 komentar:
Posting Komentar