Imperialisme Informasi (The Global of Videocracy)

Oleh : Toto Tasmara

Dunia semakin sempit. Dataran bumi merupakan lahan yang paling empuk untuk dipotret dan ditelanjangi oleh kemajuan pengetahuan. Jaringan pusat satelit didirikan oleh Amerika dengan memakai nama Pusat Penelitian Cuaca. Jutaan informasi dari seluruh negara diolah dan dianalisis untuk kepentingan perusahaan dan ambisi para zionis untuk mewujudkan cita-citanya menguasai seluruh bangsa. Media televisi menjadi "tuhan baru" bagi jutaan manusia di muka bumi, menjadi "penguasa media" (videocracy) yang menghipnotis jutaan pemirsanya. Slogan mereka adalah "tiada hari kecuali mata yang melekat pada kaca TV", bagaikan terkena santet. Jutaan anak-anak sangat hafal dengan program acara yang menayangkan film fiksi. Jutaan ibu rumah tangga menghabiskan waktunya menonton telenovela, sebuah acara opera sabun yang beritme emosional. Televisi bukanlah sekadar lahan usaha yang menggiurkan, melainkan bahan informasi yang bisa juga menyesatkan, tentunya bergantung kepada kepentingan pemegang sahamnya.



Triliuner media, seperti Rupert Murdoch, W. Randolph Hearst salah satu pengikut zionis, telah menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam dunia politik, bahkan menentukan nasib suatu pemerintahan karena lobi mereka. Pengaruh "mata" zionis yang hebat ini telah mengubah perilaku budaya, selera, bahkan keyakinan manusia. Acara-acara yang ditayangkan televisi pun mampu membuat penontonnya begitu terpengaruh secara emosional hingga menangis dan gemas. Hal itu berhasil karena kepiawaian perancangnya dalam mengelola program-program acaranya sehingga menyebabkan jutaan umat Islam terpana dan larut dengan impian yang ditawarkan para copywriter (penulis skenario) periklanan. Kekuatan psikologis televisi dalam "meneror" para pemirsanya melalui: ilusi, kesan (impression), dan pembentukan citra (image) telah berhasil menempatan Amerika sebagai super videocracy. Setiap inci filmnya ditata dengan menyisipkan ketiga karakter psikologi tersebut.

Jutaan mata sembab karena menangis melihat suasana dramatis tenggelamnya kapal Titanic yang dilatarbelakangi nyanyian Celine Dion. Suguhan film fiksi, seperti Jurassic Park dan Armageddon membuat para penonton seperti larut dalam setiap episodenya. Dan jutaan manusia dibuai seakan menjadi Rambo ketika film ini menunjukkan keperkasaan Sylvester Stallone sebagai seorang macho hero yang membebaskan tawanan Amerika dari para Vietkong hanya dengan seorang diri --publik lupa bahwa Amerika kalah perang di Vietnam.Amerika berhasil memanfaatkan.media informasi untuk tetap membangun citranya sebagai negara super power yang sangat peduli sebagai pembela hak asasi manusia, sehingga setiap pembunuhan berdarah di Irak, Sudan, atau negara lainnya, mereka tetap tidak dipersalahkan. Hal itu tentulah karena mereka telah berhasil membentuk image kuat melalui informasi dan film khurafat (dongeng) yang begitu membekas dalam pandangan publik. Televisi merupakan cara paling ampuh untuk membuka koridor penjajahan baru kaum zionis di muka bumi, bahkan ada semacam "penuhanan" terhadap televisi.

Oleh karena kelangsungan hidup stasiun televisi sangat ditentukan oleh pemasukan iklannya, sedangkan perusahaan-perusahaan menghadapi masalah likuiditas dan dana tunai sehingga mereka "megap-megap" --baik untuk memasang iklan maupun ikut investasi-- bukan tidak mungkin saham suatu stasiun televisi akan dibeli perusahaan asing tentunya dengan lobi dan tekanan kepada pemerintah. Inilah "mata pedang" para prajurit tuhan tersebut. Mereka menguasai media massa, khususnya jaringan stasiun televisi, karena dengan itu mereka lebih mudah mengontrol program-program penayangan yang berbau dakwah, sekaligus memudahkan pembentukan opini untuk keuntungan mereka.

Kisah sukses penginjilan telah dirintis oleh penginjil ulung, Jimmy Swaggart, yang menjadikan televisi sebagai senjatanya yang ampuh untuk mempengaruhi jamaahnya. Khutbahnya yang berenergi muncul pada saat fajar menyingsing dan ditutup menjelang tidur stasiun televisi dibuat secara khusus. Rumah produksi (production house) mereka buat dengan peralatan dan dekorasi yang canggih, mengemas dan memproduksi jutaan video kaset untuk para jamaahnya sendiri dan diekspor sebagai bahan kajian para kader-kader para penginjil di seluruh pelosok negara.

Jaringan televisi yang dikuasai Yahudi (CNN, CNBC, ABC, MTI dan sebagainya) merupakan "tangan gurita" mereka, yang menjajah dan sekaligus menguasai konsumsi informasi secara sepihak. Umat Islam dan negara berkembang semakin terpuruk dalam komoditas informasi. Imperialisme informasi, inilah dua kata yang paling tepat untuk menunjukkan dominasi negara Barat. Abad ini adalah millennium of television yang mampu "mencengkeram" syaraf-syaraf pemirsanya dan sekaligus mengubah budayanya.

Televisi bukan sekadar kotak hiburan, tetapi ia membawa pesan-pesan tersembunyi, sehingga tanpa kita sadari telah mengubah budaya suatu bangsa. Kita sering dikejutkan oleh perilaku anak muda yang populer dengan sebutan "generasi MTV". Sayangnya, umat Islam yang mayoritas di dunia, jangankan mempunyai jaringan televisi bersifat internasional (seperti CNN) sedangkan jaringan lokal saja tidak mampu memilikinya. Padahal, dengan memiliki jaringan televisi yang berorientasi kepada umat niscaya umat dapat mengetahui dan menangkis trik-trik kelicikan para zionis yang sudah "menjamuri" dunia media elektronik, sebagaimana mereka mempunyai agen-agennya, yaitu kaum orientalis.

Alvin Toffler mengulas, "Dewasa ini, keberhasilan gereja di dunia bukan hanya pengaruh moral dan sumber daya ekonominya, tetapi karena ia tetap berfungsi sebagai medium massa. Kemampuannya menjangkau jutaan umat setiap hari Minggu pagi memainkan pula peran dengan memanfaatkan surat kabar, majalah, dan media lainnya."

Kekuasaan media menjadi fenomena baru dalam perang urat syaraf dan propaganda. Ketika Adolf Hitler sang pemimpin besar Nazi meminta Jenderal Gobel selaku Menteri Propaganda Jerman untuk memenang kan perang, Gobel menyambutnya seakan-akan dia berkata, "Sebarkan kebohongan dan terus ulangi dan ulangi, karena kebohongan-kebohongan tersebut akan menjadi kebenaran yang diyakini." Hal ini memberikan kesan kepada kita akan kekuatan propaganda, terlebih bila dilancarkan melalui media massa. Tidak pernah kita bayangkan bahwa kekuatan media melalui selulosa video telah menjadi satu kekuatan besar yang membentuk citra, sikap, bahkan mengubah suatu kebiasaan, budaya dan ideologi suatu negara melalui penguasa media (videocracy).

Kemakmuran yang dinikmati segelintir kelompok, terutama kaum Cina yang menjadi penyandang dana kaum Nasrani, menyebabkan pula terjadinya keresahan sosial di kalangan umat Islam. Agresivitas pengkafiran semakin menampakkan keberaniannya. Kelompok minoritas yang fundamentalis berhadapan dengan mayoritas yang idealis, menyebabkan tumbuhnya berbagai kekesalan yang terpendam di kalangan umat Islam. Di satu pihak, upaya toleransi agama hanya beredar dan dapat dipahami hanya di kalangan elite dan kurang sekali diupayakan program sosialisasinya. Padahal, sekiranya sejak dini, hal itu direalisasikan dalam bentuk toleransi, persaudaraan, dan kebanggaan sebagai satu bangsa dengan menghapuskan berbagai phobia agama dan persepsi yang salah tentang kesukuan maupun ras, niscaya jembatan untuk menuju kepada saling pengertian dan kerja sama sebagai satu bangsa akan segera terlahirkan.

Akan tetapi, sangat disayangkan hal tersebut tidak pernah menyentuh sampai ke dasarnya secara substantif. Bahkan, sebaliknya umat Islam belum menemukan format yang mampu mewujudkan kohesivitas pemikiran yang praktis dan dinamis untuk menjawab tantangan global ini. Dalam beberapa hal, umat Islam masih tertinggal jauh dari agamawan lainnya yang bergerak dengan sangat profesional yang didukung oleh dana, hubungan internasional, serta sumber daya manusia yang kuat. Pola dakwah Islamiyah masih "jalan di tempat". Dakwah baru menyentuh kepada simbol-simbol yang dangkal (superficial), masih berkutat pada tahapan mata hati (bashiran), belum menyentuh mata hati yang menyinari (pelaksanaannya; sirajam-muniran). Dakwah dengan lisan masih lebih dominan daripada dakwah dengan perbuatan. Hal ini menyebabkan umat Islam kehilangan daerah yang strategis untuk melancarkan dakwahnya secara simultan, terintegrasi, dan dikoordinasikan dalam satu manajemen yang profesional.

Buku Fakta dan Data yang diterbitkan Media Dakwah pada halaman 57 menyebutkan, "Lapangan media informasi harus dikontrol paling tidak 75 persen oleh orang Kristen, karena informasi merupakan persenjataan yang paling tajam untuk mengontrol umat Islam."Sementara, Umar Husein menulis tentang efektivitas imbauan Paus John Paul II, "Paus mengimbau kepada umat Katolik agar menyebarkan ajaran Kristen (Pope calls on Catholics to spread Christianity)." Dan hasilnya imbauan Paus langsung diikuti oleh para jamaah dengan penuh antusias, dengan hasil dua kali lipaf persentase perkembangan laju penduduk Indonesia sendiri, terbukti perkembangan Kristen Katolik pun sangat pesat di Kalimantan (Kalimantan Barat 9,5 persen; Kalimantan Timur 18,5 persen; dan Kalimantan Tengah 16,5 persen). Sedangkan persentase umat Islam sendiri mengalami penurunan: tahun 1980 (87 persen), tahun 1985 (86,9 persen). Bisa disimpulkan bahwa Indonesia adalah salah satu daerah tujuan peuyebaran Injil. Demikian yang ditulis Husein Umar (Fakta dan Data: hlm. 24).

Fakta ini memberikan informasi serta hikmah bahwa dalam dunia demokrasi global, umat Islam harus mampu bersaing memenangkan citra. Oleh karena kebenaran yang hanya disimpan di dalam hati akan terkikis (lindap) digantikan oleh keyakinan yang setiap hari ditayangkan dengan penuh kesan. Perang global bukanlah perang konvensional yang mengepulkan mesiu dan deru suara bedil. Akan tetapi, sebuah kreativitas otak dan seni untuk memenangkan sebuah ambisi. Maka terkenanglah kita akan ucapan Umar bin Khaththab ra.:"Kebatilan yang terorganisasi dengan rapi akan mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisasi."Ini merupakan aksioma universal yang harus dijadikan patokan hidup umat Islam. Kita tidak mungkin hanya bersifat apologetika (membela diri dengan melihat ke masa lalu, ed.) seraya melihat ke belakang mengenang kejayaan Andalusia. Di hadapan kita terpampang suatu "tantangan global" yang harus dihadapi dengan menyatukan pikiran, dana, dan gairah untuk menjadi pemenangnya.

Kita pun tidak perlu bermalas-malasan, seraya memimpikan datangnya Imam Mahdi, Ratu Adil, atau Mesiah yang dengan baik budi mau mengulurkan tangan menolong penderitaan umat. Kita harus menjawab, "Tidak!" Karena Allah tidak akan mengubah suatu bangsa (kaum) kecuali bangsa (kaum) itu sendiri yang mengubah nasibnya.Menyadari gerakan zionis yang menyelusup ke seluruh tubuh kehidupan termasuk kehidupan beragama --baik itu Islam, Kristen, Budha, atau Hindu-- kiranya sudah saatnya semua pihak tanpa melihat perbedaan agama harus saling bergandengan tangan untuk membentengi negara tercinta yang merupakan amanat Ilahi dari gangguan ambisi kaum zionis. Semangat cinta Tanah Air merupakan salah satu kunci yang tangguh dalam menghadapi perang global ini. Setiap agama pasti menghargai makna Tanah Air sebagai amanat Ilahi.Pertentangan agama serta berbagai kecemburuan yang dijadikan pemicu konflik harus kita akhiri, karena pada akhirnya hanya kaum zionislah yang akan memetik keuntungannya.

Seluruh umat beragama harus membaur dalam citra persatuan kebangsaan, karena itulah kita semua berdiri menjadi pandu yang membentengi setiap jengkal harta dan martabat kita bersama. Sudah saatnya, kita melupakan luka sejarah yang penuh dengan pertentangan dan membuka ruang persamaan serta memperkecil nilai-nilai yang berbeda.Tidak ada pilihan bagi umat Islam di Indonesia kecuali membuka sekat perbedaan, mengulurkan tangan, dan saling bergandengan tangan bahwa musuh kita bukanlah bangsa kita sendiri, tetapi sebuah kekuatan "raksasa" zionis yang harus dihadapi melalui persatuan dan kesatuan umat. Pertentangan sekecil apa pun tidak pernah akan memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam kecuali tepukan kebahagiaan bagi kaum zionis yang tidak rela bila ada satu negara yang tidak mau mereka jadikan bonekanya.

Jauhkanlah segala bentuk perbedaan yang tidak prinsipil yang hanya menuju kepada pertikaian. Hamparkanlah jembatan kebangsaan yang mengantarkan kita ke jembatan emas masyarakat baru Indonesia. Menjadikan cinta dan kasih sayang diantara sesama bangsa Indonesia sebagai tema sentral tatanan pergaulan seraya memperkecil segala bentuk perbedaan. Bukan justru sebaliknya, bangsa Indonesia kehilangan cinta dan kasih sayang dikarenakan kita disibukkan dengan mempertajam perbedaan abadi yang secara fitri melekat pada diri setiap manusia.Umat Islam harus tidak mengenal kata menyerah dalam menghidupkan prinsip-prinsip kehidupan dalam sistem jamaah. Meramaikan masjid-masjid sebagai pusat tali ukhuwah dan membuka diri terhadap paham yang berbeda selama dalam kerangka cinta kasih dan saling menghargai. Hal ini tidak hanya dapat dituangkan dalam upacara pidato belaka, tetapi harus dijadikan sebagai bagian dari sistem pendidikan bangsa, sejak mereka mengenal bangku sekolah. Buanglah jauh-jauh segala bentuk Islam phobia, Kristus phobia, Sino phobia, dan segala bentuk phobia yang bisa menghambat persatuan kita sebagai satu bangsa yang telah memiliki tradisi nenek moyang yang luhur. Kuncinya tidak lain bersatu, sekali lagi bersatu.

Hidup yang rukun, berdampingan dan saling menghargai, sebagaimana telah ditunjukkan oleh kebesaran jiwa Islam pada periode Madinah dan Mekah, maupun pada saat puncak kejayaan pemerintah Islam di Andalusia, yang oleh Max Dimont dikatakan, "Dampak dari 500 tahun di bawah kebijakan kaum muslimin, maka Spanyol yang saat itu terdiri dari tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi yang hidup dalam satu wilayah, mereka saling bertoleransi dan penuh pengertian dalam bermasyarakat...."(Under the subsequent 500 year rule of the Moslems emerged the Spain of three religion and one bedrooms: Mohammedans, Christians, and Jews shared the same brilliant civilization....)

Inti ajaran Islam adalah tauhid dan membawa kedamaian bagi alam semesta (rahmatan lil-alamin). Hal itu hanya dapat kembali ke panggung sejarah selama umat Islam bersatu dan menjadi payung kehidupan. Sebagaimana masyarakat madani yang kita cita-citakan hanya dapat terwujud bila kita semua mengarah kepada persatuan umat (ittihadulummah). Kemenangan Islam yang mengalahkan kaum Pagan musyrikin telah membuktikan satu tradisi bahwa di tangan daulat Islamiyah, masya rakat lain yang beragama non-Islam, dapat hidup tenteram berdampingan.Kalau saja para pemimpin mempunyai keberpihakan yang kuat kepada Allah dan Rasulnya, kalau saja mereka ingin membangun sebuah "samudra besar" yang disebut dengan persatuan umat. Kalau saja di hati para pemimpin ada semangat kenegarawanan yang sejati, bukan sekadar ahli orasi dan politisi, niscaya mereka mau melepaskan baju 'ashabiyah-nya (kebanggaan terhadap kelompok) seraya berkata:

"Demi menegakkan Sunnah Nabi dan kekuatan jamaah yang bagaikan barisan yang. Kuat, demi Allah, saya tidak inginkan jabatan ini, asalkan kita dan para pengikut masing-masing meleburkan diri dalam satu kata yang paling dirindukan, yaitu 'persatuan umat' (ittihadul-ummah). Kalau Anda mau memegang amanat umat yang satu, silakan pimpin dan bawalah umat ini menuju ke puncak-puncak kejayaan Islam, saya akan mendampingi Anda dalam suka dan duka untuk memenangkan cita-cita izzul Islam wal-muslimin (menjunjung Islam dan kaum muslimin)."

Akan tetapi, dari dalam lubuk hati yang paling dalam, nurani pun menjerit, adakah pemimpin yang seperti itu?

Lantas masih adakah para pemuda yang mempunyai tekad kuat (muru'ah) untuk mengkampanyekan pentingnya persatuan dan kesatuan umat? Masih adakah pemuda yang berkata, "Demi persatuan umat dan menghilangkan kebingungan karena banyaknya partai dan golongan yang mengatasnamakan Islam, maka dengan mohon maaf sebesar-besarnya kepada Anda sebagai pemimpin kiranya sudi dengan ikhlas maupun terpaksa untuk ikut dengan kami ke satu tempat, di sana telah berkumpul para pemimpin Islam yang lainnya. Ini bukan menculik, seperti kasus Chairul Saleh dan rekan-rekannya yang membawa Soekarno ke Rengasdengklok untuk memproklamasikan Indonesia. Akan tetapi, sebuah harapan yang kami wujudkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata, karena kata persatuan umat sudah terlalu lama kami dengar tanpa melahirkan apa pun kecuali retorika belaka. Mohon maaf, ikutlah dengan kami ke satu tempat untuk memproklamasikan partai yang mampu menyatukan seluruh potensi umat dalam satu wadah satu harakah satu cita-cita ittihadul ummah."

Akan tetapi, nurani bagaikan tercabik koyak. Pemikiran seperti ini hanyalah sebuah khayalan. Bahkan, bisa menjadi cemooh belaka. Dan segudang tudingan pun pasti menuju kepada orang-orang utopis itu. Ini berarti tidak demokratis, biarkanlah semua orang mempunyai haknya masing-masing. Hargailah orang yang berbeda pendapat, berbeda kelompok --yang segudang hadits dan ayat pun mereka bacakan. Anda jangan memaksakan kehendak karena ingin mewujudkan persatuan umat dengan cara paksa dan itu adalah fasis (berpemikiran otoriter/memaksa, ed.).

0 komentar: