Oleh : Ratna Megawangi
"Adalah mudah untuk bersenang hati
Ketika hidup kita mengalir seperti sebuah lagu
Tetapi yang patut dihargai adalah mereka yang bisa tersenyum,
Walaupun semuanya berjalan salah
Karena ujian hati adalah kesulitan,
Dan ini selalu datang sepanjang masa kehidupan.
Dan senyuman yang patut diberi pujian
Adalah senyuman yang bersinar melalui mengalirnya air mata"
Penyair Ella Wheeler Wilcox tahu betul bahwa kesulitan tidak pernah memandang umur. Entah berumur 7, 17, atau 70 tahun, kita dapat memastikan datangnya saat-saat mendung dalam kehidupan kita.
"Di balik kesulitan pasti ada kemudahan," demikian firman Allah dalam QS Alam Nasyrah [94] ayat 6. Tidak ada mendung dan badai yang berkepanjangan, karena hari cerah pasti datang sesudahnya.
Namun banyak orang yang tidak bisa melalui hari-hari sulit seperti, tidak lulus ujian, terkena PHK, perceraian, gagal bisnis, terlilit utang, terkena penyakit berat, dsb. Ketidakmampuan menghadapi kegagalan bisa membuat mereka gampang menyerah, malu, marah, atau frustasi. Maka, bisa jadi seluruh kehidupannya menjadi "badai yang tak pernah berlalu" dan akhirnya menciptakan "lingkaran setan" sendiri.
Bila kita tidak dapat mencegah datangnya hari-hari mendung, bagaimana mungkin kita dapat menghadapinya secara positif. Sukses selalu dianggap kehormatan, sedangkan kegagalan sering dianggap kehinaan. Namun sebenarnya tidak ada kesuksesan yang diperoleh tanpa melalui proses belajar dari kegagalan masa lalu. Istilah "sukses dalam satu malam" sebenarnya hampir tidak pernah ada di dunia nyata.
Mengajari anak arti gagalSejak usia dini anak perlu diajari bahwa setiap orang pernah mengalami hari-hari sulit dan kegagalan, tetapi bukan tanpa tujuan. Kegagalan dan kesulitan bisa membawa mereka ke gerbang kesuksesan.
Kegagalan perlu dipandang sebagai batu loncatan, bukan sebagai lampu merah tanda berhenti. Thomas Alva Edison yang menciptakan lampu pijar, atau Henry Ford si pencipta mobil, bisa begitu sukses melalui kegagalan berkali-kali dan sikap pantang menyerah untuk terus mencoba.
Memotivasi anak untuk tetap melihat kesuksesan dan kegagalan dalam perspektif yang benar memang bukan hal mudah. Terkadang sebagai orang tua atau guru, kita sering mengkritik bahkan menghukum anak didik yang gagal meraih prestasi yang diharapkan, walau hal tersebut dilandasi niat baik. Padahal masa kanak-kanak dan remaja adalah masa-masa penting untuk membangun rasa percaya diri. Kepercayaan diri mereka masih rapuh, dan kalau kita sering mengritik dan menghujat kegagalannya, rasa percaya diri mereka akan hancur berantakan.
Seorang bayi tidak tahu bagaimana harus berjalan, tetapi ia akan terus mencoba dengan proses yang begitu sulit; jatuh berkali-kali, tangisan, mungkin benjolan di kepala. Tetapi tidak ada seorang pun yang mengkritik dan menyalahinya, apalagi menghujatnya. Yang ada hanyalah empati, pelukan dan ungkapan sayang ketika ia menangis karena terjatuh, serta tepukan tangan ketika ia bisa melangkah.
Kalau saja ada orang tua mengatakan bodoh atau menghukum seorang bayi ketika jatuh saat belajar berjalan, maka ia akan berhenti dan tidak mau mencoba lagi, mungkin ia akan menjadi seorang yang lumpuh.
Maka, anak-anak dan remaja perlu diajarkan untuk memandang kegagalan dua pandangan positif, yaitu (1) sebagai kesalahan atau keteledoran yang dapat diperbaiki, dan (2) sebagai kesempatan untuk belajar dari kesalahan dalam melangkah ke depan. Anak-anak perlu mengetahui bahwa mereka adalah "lebih besar dari kegagalannya".
Anak sebagai problem solverSuatu saat anak saya yang masih kelas 6 SD pulang dari sekolah dengan wajah sedikit muram karena harus menyerahkan kertas ulangan Matematika yang harus ditandatangani. Sewaktu saya melihat nilainya yang jelek, tanpa memberikan kesempatan untuk berkomentar, ia langsung berkata, "Pak Guru bilang, saya dapat jelek bukan karena bodoh, tetapi kurang teliti. Kalau saya lebih hati-hati katanya saya bisa dapat bagus". Wah, ini guru yang hebat.
Kemudian saya menyuruhnya untuk mengerjakan kembali soal-soal yang salah dengan teliti. Setelah diperiksa, ternyata ia dapat mengerjakan dengan benar. Dengan semangat ia berkata, "Saya tahu salahnya, dan pasti saya akan lebih baik lagi".
Andaikan guru tersebut mengatakan ia bodoh dan mempermalukannya, mungkin ia tidak pernah menjadi begitu bersemangat. Sepotong kalimat arahan positif, bukan kritikan negatif dari seorang guru ternyata bisa sangat berarti bagi anak.
Anak-anak perlu mengerti bahwa mereka bisa menjadi problem solver. Dengan menghadapi masalah dan mencari pemecahannya, bukan menghindarinya, mereka akan membangun "otot-otot" ketegaran yang menjadi bekal mereka untuk mengarungi kehidupan yang pasti ada cuaca mendungnya.
Semakin mereka mampu menerima kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar, maka akan semakin tinggi pula motivasinya untuk menerima tantangan baru. Bahkan kesuksesan sekecil apa pun akan meningkatkan rasa percaya diri dan rasa antusiasme mereka untuk menjelajahi cakrawala kehidupan. Wallaahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar